Kamis, 03 September 2009

Belenggu Kesemrawutan

Sudah lama kita berada dalam kehidupan yang bersifat individualisme, egois, semau gue dan mau menang sendiri. Rasa kebersamaan, senasib dan sepenanggungan, sirna di bawah ideologi kebendaan, materialistik, hedonisme dan kapitalisme. Akhirnya muncul suatu opini yang selalu mengedepankan MITOS dari pada akal sehat, serta timbul krisis pembenaran terhadap problem etika sosial yang keliru, seperti contoh orang dihalalkan mencuri atau menjarah, karena kesulitan ekonomi yang melilit, orang bisa seenaknya menghina, bahkan membicarakan aib saudaranya, merampas hak orang lain, KORUPSI karena merasa memiliki kekuasaan, serta menyalahkan orang lain demi untuk menutupi arogansi kepentingan pribadi, dan masih banyak lagi opini yang menjadi brain image di masyarakat kita saat ini, sehingga kita dibelenggu oleh kesemrawutan.

Umumnya orang melihat dan mengukur seseorang dari penampilan, atribut, jabatan, simbol, pangkat, status sosial dan posisinya di tengah masyarakat. Hampir seluruhnya dari kita lenyap disitu, sehingga mutunya jadi enteng & hampa. Jika itu olok ukurnya, ikatan persaudaraanpun jadi semu, longgar dan tidak berarti. Semua diukur serba kebendaan dan materialistik. Kita ingin mendekat pada seseorang karena materi dan statusnya. Kita menelpon seseorang dan bersilaturahmi ketika ada kepentingan yang dikejar.

KEPENTINGAN. Kata ini menjadi ”KUNCI” kemana arah kehidupan kita bergulir. Kebijakan dibuat sedemikian rupa lantaran kepentingan. Celakanya, jika kepentingan dikaitkan dengan pribadi dan kelompok. Tak peduli, apa! kah kebi jakan itu bertabrakan dengan kepentigan orang banyak. Seperti contoh proyek busway, lumpur lapindo, sengketa tanah, serta urusan kaki lima yang selalu dikejar-kejar trantib. Itulah yang terjadi hari ini. Rasa MALU kita jadi hilang, lantaran KEPENTINGAN. Jika kepentingan individu dan kelompok lebih dominan, otomatis kepentingan orang banyak dikorbankan, sehingga kebijakan dibuat tidak manusiawi lagi.

Seperti cerita diatas, bentuk kongkrit belenggu kesemrawutan dari cara berfikir kita, dapat dilihat dalam keseharian seperti, kemacetan dijalan, yang disebabkan oleh ketidak teraturan, pelanggaran disiplin, egois, serta sikap mental yang apatis dan kurang perduli terhadap keadaan. Secara tidak langsung belenggu ini, menurunkan nilai kehormatan dan kesadaran sebagai mahluk yang luhur. Belenggu kesemrawutan ini terjadi karena di dalam masyarakat kita ada 3 golongan manusia, yaitu :

1. Golongan Pejuang
Golongan orang-orang yang mau bekerja tanpa pamrih, tanpa komentar dan tanpa diperintah serta tanpa diiming-iming, mereka selalu siap ketika dibutuhkan, khususnya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

2. Golongan Pekerja
Golongan orang-orang yang mau bekerja karena ada pamrih, karena mengharapkan popularitas, pujian serta hanya sibuk mengejar kepentingannya sendiri.

3. Golongan penjahat
Golongan orang-orang yang mengorbankan kepentingan orang lain, merampas hak rakyat dan tidak perduli orang lain menderita, demi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Saat ini untuk sementara, menurut survei para ulama, yang terbanyak saat ini adalah golongan pekerja dan penjahat, makanya bangsa kita jadi carut marut, acak adut, bau kentut, karena dirongrong oleh orang-orang yang sibuk mencari pamrih dan popularitas, juga orang-orang yang bahagia serta menari-nari diatas penderitaan orang lain. Sedangkan golongan pejuang hanya sedikit dari total komunitas. Nah !, termasuk golongan manakah kita ?.

Apabila kita, kilas balik 62 tahun yang lalu, pada saat pergerakan fisik melawan imperialisme, bangsa Indonesia dapat meraih kemerdekaan dengan senjata konvensional, seperti bambu runcing. Karena pada waktu itu banyak pejuang yang rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran bahkan jiwa raga serta keluarga yang dicintainya, yang mana pengorbanan pejuang tersebutlah yang akhirnya menghantarkan bangsa Indonesia kepintu gerbang kemerdekaan. Allah menciptakan sejarah untuk diingat. Kisah orang-orang dulu ditulis untuk dijadikan pelajaran. Sungguh malang nasib orang-orang yang tak mau belajar dari sejarah. Ia akan terjerumus dalam kubangan hina. Nasibnya akan diabadikan dalam sejarah dengan ornamen hitam.

Berkaca diri. Ya, bisa jadi kita memang harus banyak ngaca. Kita akan melihat diri dan kemampuan kita, termasuk dalam memilih dan menilai. Dalam berkaca mungkin kita tak tahan melihat keadaan kita sebenarnya. Mata kita mungkin berkaca-kaca, menyesali kekeliruan kita selama ini. Tetapi ingatlah masa lalu kita yang buruk tentu bukan untuk diratapi. Melainkan dijadikan pelajaran untuk perbaikan ke depan. Kita tentu makin sadar, mustahil menyelesaikan problem bangsa ini sendirian. Potensi manusia jadi kecil jika bercerai-berai dan akan besar jika berjamaah. Kita akan lemah secara individual, sebaliknya akan kuat secara kolektif, dan kita tidak boleh berharap orang lain memecahkan masalah kita.

Pada hakikatnya, setiap orang di Republik ini mampu berbuat sesuatu untuk keluar dari belenggu kesemrawutan ini, sepanjang kita semua mempunyai niat baik untuk mencari keberkahan dalam setiap upaya yang dilakukan, yang pada akhirnya cahaya kebenaran dan keadilan akan menjelma dihadapan mata, setelah kita berjalan beberapa lamanya di dalam terowongan kebatilan yang gelap gulita. Semoga Tuhan mengabulkan do’a kita semua...amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar